A. Unsur Intrinsik Cerpen
1.Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam
berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi
dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Panuti Sudjiman,
1988:16).
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya
sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti
Sudjiman (1966:25).
Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis tokoh,
kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh
utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang
aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu
(Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh yang
berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang tidak
memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai dimensi yang tetap,
sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh yang memiliki variasi
perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan lingkungan peristiwa yang terjadi.
Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada dasarnya sama dengan tokoh
tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut tokoh psikologis. Dengan
demikian tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan
perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai
personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak
memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo
dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan cara
analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang langsung
memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati, keras kepala,
penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang dramatik, karakter tokohnya
tidak digambarkan secara langsung, melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan
nama tokoh, (2) penggambaran fisik atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog
(Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan
tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang menampilkan tokoh sebagai
pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku memiliki semangat perjuangan dalam
mempertahankan hidupnya, pelaku memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan
manusia yang sebenarnya, maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri
sendiri (Bouton dalam Aminuddin, 1984).
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan karakter
yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Cara
mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung,
melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui
tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui
kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu
pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian
tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut
didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau
setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian
(Atar Semi, 1988:37-38). Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh
cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan
hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang dalam karyanya
adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur
cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita menjadi lebih nyata dalam
angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh cerita,
yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual. Pada pelukisan
secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan dan sifat si tokoh,
misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada
pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan
keadaan tokoh cerita.
Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh,
bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui tokoh
lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual, watak
tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu
kepada tokoh.
2. Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga
menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita
(Aminuddin, 1987:83).
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana
peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster,
1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang
amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu
sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain,
bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya
terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang telah
dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya berasal dari daya
imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya belum tentu sama dengan
pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, urutan
peristiwa yang demikian tidak lain hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada
masalah yang dikerjakan terhadap tujuan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima hal yang
perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu : (1) situation,
yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2) generating circumstances,
yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3) ricing action, keadaan mulai
memuncak, (4) climax, yaiut peristiwa mencapai puncak, dan (5) document, yaitu
pengarang telah memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara berurutan no
1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan apabila penerapan
itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai alur balik (regresif).
Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur
gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian lagi
alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga dijalin dalam
kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita
atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun tempat kejadiannya
(Suharianto, 1982:29).
Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam alur rapat hanya
tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh saja, sehingga tidak timbul
pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada pengembangan tokoh lain selain
tokoh utama, maka terjadilah alur renggang atau terjadi pencabangan cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai keistimewaan
sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menikmati
cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain halnya dengan alur sorot
balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan pembaca, sehingga pembaca
dibayangi pertanyaan apa yang terjadi selanjutnya dan bermaksud apa pengarang
menyajikan kejutan seperti itu. Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk
membacanya sampai tuntas.
Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca
menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan
yang dianggap tidak penting.
3. Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar adalah
latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa,
serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut Leo Hamalian
dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya
berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan
tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap,
jalan pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi
suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke
dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan
pelukisan latar sebagai berikut :
1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang
dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan
terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.
2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti
keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita.
3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan
atmosfir yang bermanfaat dan berguna.
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan waktu,
latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya
dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang
tepat akan mampu memberikan suasana tertentu dan membuat cerita lebih hidup.
Dengan adanya penggambaran latar tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana
yang dilakukan oleh para tokoh dapat dirasakan oleh pembaca.
4. Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya disebut
sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view (Aminuddin,
1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi (1988:51) yang
menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view dengan istilah pusat
pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau
darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan
menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah
sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan
melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah merupakan
posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik kisah
menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang
sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, (4) pengarang
sebagai pemain dan narrator.
5. Gaya
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh
daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian tercermin
dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam memandang
tema atau persoalan, tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu
unsur cerita sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila
disampaikan dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah
bahasa yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua
sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya umumnya
dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita agar cerita lebih
menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan kemampuan pengarang
dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena cerita pada dasarnya
bermediakan bahasa.
5.1 Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu pilihan
kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula sebuah wacana
secara keseluruhan (Keraf, 1984:112).
Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu
sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia merupakan
pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil seorang sastrawan
melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya.
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan,
meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan
watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dengan makna
dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu seorang pengarang dapat mengekalkan
pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia
menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari
batin seorang pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang
dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik
pengarang tersebut.
Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai
kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat
dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan
pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya
yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi
pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang
paling mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman
pengarang. Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan
yaitu : (1) gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan,
penekanan dan penguatan.
5.2 Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk menulis
cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena pengertian gaya
cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu metode
pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang lain
daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau waktu
sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang menekankan pada
tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan bahasa, maka gaya
bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang ditumpukan dalam bentuk
frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga semuanya membentuk struktur
wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
6. Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang mendasari
suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu Brooks berpendapat
seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa dalam mengapresiasi suatu
cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas, karena tema sebenarnya
merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan
masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal.
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan yang
mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar,
dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam penokohan. Tema
bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat yang
inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya menyebar pada
keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema tersebut ada yang
dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan secara simbolik atau
tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin (1987:92) merinci upaya pemahaman
tema sebagai berikut:
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca
2) Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang
dibaca.
3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa
fiksi yang dibaca.
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5) Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang
disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
7) Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak
dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkannya.
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu
dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan.
Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema, seorang
pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang kehidupan yang
diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan usaha pengarang dalam
memahami keseluruhan masalah kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan
seorang individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok
masyarakatnya.
B. Unsur Ekstrinsik Cerpen
Nilai-nilai yang terkadung dalam Cerpen
Penulisnya cerpen tidaklah asal-asalan membuat cerita. Penulis menuangkan
idenya berdasarkan sebuah nilai yang ingin disampaikan kepada pembacanya,
misalnya nilai moral dan nilai keagamaan. Selain kedua nilai itu, masih banyak
nilai lain di masyarakat.
Nilai moral (nilai etik)
adalah nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai
yang berhubungan dengan akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah
yang dianut oleh golongan atau masyarakat.
Nilai keagamaan
adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat
pada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci
sehingga menjadikan pedoman bagi tingkah laku warga masyarakat bersangkutan.
pandangan pengarang itu diakui sebagai nilai-nilai kebenaran olehnya dan ingin
disampaikan kepada pembaca melalui karya sastra.
Nilai moral dan nilai keagamaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Pandangan hidup yang berhubungan dengan moral itu bersumber dari nilai
keagamaan. Seseorang bisa dikatakan orang bermoral, karena orang itu beragama.
Moral lebih dekat hubungannya antara manusia dengan manusia, sedangkan agama
hubungannya antara manusia dengan Tuhan.
Rabu, 28 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar